Tantangan Terkini Pemasaran Perguruan Tinggi

tantangan terkini pemasaran perguruan tinggi

2020 menjadi tahun yang penuh tantangan untuk sektor perguruan tinggi. Persaingan yang kian ketat, generasi calon mahasiswa yang kian demanding, pandemi Covid-19 yang membuat semua pihak tergagap-gagap. Ujian Nasional  yang ditiadakan, e-learning yang selama ini hanya sekadar ada tetapi kini menjadi aktivitas utama, hingga proses penerimaan mahasiswa baru yang cukup mengubah kebiasaan. Kondisi ini membuat banyak perguruan tinggi, terutama Perguruan Tinggi Swasta “dipaksa” melompat, menyesuaikan diri jika tidak ingin kian terpinggirkan. Berikut beberapa tantangan yang dihadapi oleh praktisi pemasaran pendidikan tinggi saat ini:

Pertama, regulasi yang tak pasti.

Lumrah rasanya di Indonesia, berganti pejabat berganti kebijakan. Walaupun sebenarnya secara substansi sama, namun dikemas seolah-oleh berbeda. Tapi dengan perubahan kebijakan yang serba dadakan, tentu mengakibatkan banyak hal yang perlu diubah atau diadaptasi di internal perguruan tinggi. Awal tahun ini misalnya, kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka yang diluncurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejatinya bukan hal baru. Banyak kampus yang sudah menerapkan metode ini dalam proses pembelajaran mereka, hanya berbeda kemasan. Saat ini pun, kampus masih dihadapkan pada dilema, apakah akan memulai perkuliahan luring seperti diwacanakan, sementara Covid-19 belum berlalu. Ini tentu mempengaruhi cara komunikasi kepada para calon mahasiswa.

Kedua, kompetisi tinggi.

Di Indonesia, berdasar Data Kemenristekdikti akhir 2017 -saya kesulitan mencari data terupdate di 2020- tercatat lebih dari 4.500-an perguruan tinggi. Didominasi oleh 3.136 Perguruan Tinggi Swasta, disusul 1.060 Perguruan Tinggi Agama, 186 Perguruan Tinggi Kedinasan, dan 122 Perguruan Tinggi Negeri, jumlah yang fantastis. Padahal jumlah mahasiswa baru di tahun 2018, tercatat 1.732.308. Jika dibandingkan rasio antara jumlah perguruan tinggi berbanding jumlah mahasiswa, ibarat 1 : 385. 

Problemnya, gap antara perguruan tinggi yang memang berkualitas dengan yang hanya berusaha bertahan hidup sangat jauh. Sebagai contoh, Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2018 menerima 9.125 mahasiswa baru, sementara Bina Nusantara (Binus), tahun ke tahun, menerima kisaran 12.000 mahasiswa baru. Sementara di banyak perguruan tinggi lainnya, bisa mendapatkan puluhan mahasiswa baru saja sudah prestasi. Dari 4.500 lebih perguruan tinggi se-indonesia, bisa dibilang 

Ketiga, penguasaan teknologi yang belum mumpuni.

Masih banyak yang gagap dengan teknologi. Seakan-akan sudah mengikuti zaman, tetapi tidak sesuai dengan fungsinya. Misal, memang hampir seluruh kampus sudah memiliki website, tetapi jika diperhatikan, seberapa sering konten di-update, bahkan ada informasi wisuda 3 tahun lalu yang masih terpajang gagah di homepage. Belum lagi jika kita bedah lebih dalam, UI dan UX-nya, kecepatan akses halaman, fungsi setiap button, dan seterusnya. 

Hal kecil pun seharusnya diperhatikan. Saat presentasi dari sekolah ke sekolah misalnya. Desain dan konten pada slide presentasi masih mempertahankan gaya lama yang penuh teks, background tidak menarik, tentu jika dibawa ke hadapan pelajar SMA sederajat sebagai target audiens, menjadi tidak sesuai.

Keempat, kurang menyesuaikan diri dengan audiens.

Ini fakta yang cukup menarik. Memiliki target market yang sangat muda, dari kalangan Gen-Z atau Centennial, ternyata masih banyak Perguruan Tinggi yang enggan melakukan restrukturisasi. Saya masih banyak bertemu dengan Gen-X di Biro Marketing atau Penerimaan Mahasiswa Baru. Memang tidak ada salahnya secara posisi, namun yang bersangkutan harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Jika tidak, ini akan menghambat perkembangan perguruan tinggi tersebut. 

Kelima, merasa tidak perlu promosi.

Banyak perguruan tinggi yang masih terbuai sejarah. Dengan usia kampus yang sudah puluhan tahun dan pada masa jayanya memiliki jumlah mahasiswa yang sangat banyak, sehingga merasa tidak perlu melakukan promosi. Perlu diingat, promosi wajib hukumnya bagi setiap brand, termasuk institusi pendidikan. Tidak hanya kampus baru, bahkan kampus yang sudah established pun perlu promosi untuk mempertahankan posisinya. Itulah mengapa brand sekelas Telkomsel, Toyota, McDonald, yang jelas-jelas dikenal hampir semua orang, namun tetap konsisten menjalankan promosi. Apalagi kampus yang setiap tahun target marketnya ikut berubah.

Hadapi tantangan.

Menghadapi kelima tantangan ini, para praktisi pendidikan tinggi harus berpikir kreatif menyiasati situasi. Gali terus ide-ide pemasaran terbaru, manfaatkan beberapa marketing channel baru seperti Tiktok yang sedang digandrungi. Zaman sudah berubah, perguruan tinggi harus berbenah atau perlahan akan musnah.

Raihan Febriansyah

I am the Director of Growth at Heroleads Indonesia and have been a lecturer in Communication Studies since 2012

Recent posts

High Conversion Copywriting Tips for a Successful Digital Campaign

High Conversion Copywriting Tips for a Successful Digital Campaign

When you hear the term copywriting, you will probably think of an advertisement. However, copywriting...
5 Rekomendasi Tools untuk Membuat Copywriting Iklan

5 Rekomendasi Tools untuk Membuat Copywriting Iklan

“Buatlah copy yang sederhana. Mudah diingat, yang mengundang untuk dilihat orang. Buatlah copy yang menyenangkan...
Mitos Digital Marketing di Google

3 Mitos dalam Mengukur Campaign Digital Marketing ala Google

Menurut penelitian dari Boston Consulting Group dan Google, 2 dari 3 konsumen menginginkan iklan yang...

Subscribe to
monthly newsletters

Receive the latest product & promotions news, exclusive free content, and key industry trend reports!

Heroleads capture blog